Kesadaran ilmiah
dan interaksi diri
Mudah-mudahan saya benar. Sebab, setiap saat kita menapaki
“mudah-mudahan” berlanjut kepada “mudah-mudahan” berikutnya, kita tidak bisa
menyimpulkan suatu tindakan hanya dari pemenggalan waktu ketika tindakan itu
dilakukan: ketepatan penilaian (masa sekarang) memerlukan berbagai perangkat
konteks dari masa silam dan masa datang.
Seorang pemain sepakbola –sekalipun penyerang –pada momen tertentu
bisa saja menendang bola ke belakang karena ia mengoperkannya kepada, bahkan kipper,
tapi lantas kita jangan menyimpulkan “pemain
kita menendang bola ke gawang sendiri”, sebagai pemain mestinya telah
memiliki bekal konsepsi dasar dan perangkat strategi untuk membangun serangan,
dan untuk itu bola boleh naik turun atau maju mundur. Cuman masalahnya sepakbola “komunitas
pengorganisasian” kita tidak sama dengan sepakbola yang running time-nya 90
menit. Maka mudah-mudahannya kita olah menjadi bagian yang penting berwujud menjadi gol setting
yang memiliki implikasi ke-dirian.
Ketika kita memperhatikan permainan
–sekali lagi, sepakbola – sepaknya, PANSUS, panitia hak angket. Bolanya, bank
century. Panitia pelaksananya, DPR. Boneknya, bendera,
gerakan Indonesia
bersatu, dll. Penjaga gawangnya, pemerintah. Maka kita teringat kaum muslimin
adalah musuh satu dengan kaum muslimin lainnya dalam mekanisme ekonomi, dan apalagi politik. Penindas dan yang tertindas sama-sama
beragama islam. Yang ngolok dan yang
diperolok sama-sama muslim. saling adu jotos. Rentenir mengimami shalat para korbannya. Para
bos-bos, juragan, partaian yang saling memperolok, menyalahkan, menjatuhkan,
mereka berjamaah dan beritikaf satu shaff pada barisan shalat yang sama sambil
menyimpan konteks perhubungan “politisasi
ekonomis” mereka sebagai
sesuatu yang seolah-olah tidak ada kaitannya dengan kepemelukan beragama mereka
yakni islam mereka.
Pada skala makro, sudah menjadi pemahaman kita bersama bahwa strata
terisap maupun pengisap sama-sama mengucapkan doa “tanpa dosa” dalam
shalat-shalat yang mereka lakukan. Seakan-akan agama hanyalah pasal jungkir
balik, sedang permasalahan-permasalahan berdunia adalah pasal-pasal yang lain
sama sekali, dan tidak memiliki kaitan dan tidak berhubungan sama sekali.
Dengan kata lain, jamaah dan umat islam tidak memiliki –karena tidak
perlu –adanya jama’ah yang berjam’iyyah fi-addunya yang memiliki nilai, value
yang mengalir ke gawang yang sama pada niat dan tujuan dengan motif yang jelas
dan sama. Mereka berjamaah hanya dalam “ritus tanpa dosa, tanpa (merasa)
bersalah”, tapi tidak dalam realitas nyata karena (merasa) cukup dan merasa
yakin akan sampai pada (nama) Tuhan, tanpa esensi Dzat. Sesuatu yang mestinya
mendesak untuk di tafakuri, di telaah, dianalisa yang dimulai dari dalam diri,
kemudian memancar ke kanan, ke kiri dan ke sekitarnya serta kepada orang lain
yang terwujud pada kebersamaan dalam jamaah, yang terikat pada mahabbah
birouhillah. kehidupan hanya dengan
menyatakan dzikrullah sebagai realitas kehidupan, maka indahlah kehidupan tersebut.
Pada proses masa kesejarahan saat ini, ukhuwah Islamiyah sekedar
berarti kirim-kiriman kartu, kirim-kiriman sms, kirim-kiriman e-mail, facebook-an.
Dalam skala “besar”, mekanisme perniagaan bersifat steril –cuci-cucian –laundry
dari negosiasi akidah keyakinan bahkan keimanan. Dalam skala “sedang dan
kecil”, di pinggiran dan pedesaan misalnya, kalau seseorang harus
merumahsakitkan keluarganya dan memerlukan biaya yang tidak sedikit, kaum (yang
mengaku) muslimin di sekitarnya segera mengerumuninya untuk siap-siap
berkenduri; maksudnya mendorong supaya orang tersebut atau keluarga si sakit
tersebut segera menyerahkan tanah atau sawah atau ternak karbaunya kepada yang
berhak memilikinya –karena punya uang pengganti –menjualnya. Kalau kepepet kan harganya merosot
jauh.
Jadi seperti itulah kondisi masyarakat Indonesia saat ini, yang
diwakili oleh petinggi-petinggi tersebut, suatu kondisi yang memerlukan format
ulang, memerlukan peng-instalan ulang, namun demikian softwerenya sendiri juga
masih semrawut dan berserakan entah diketemukan apa belum oleh mereka-mereka
yang memposisikan sebagai “ahli-ahli” yang (kata KTP) tersebut adalah muslim.
Maka apakah kamu telah
melihat orang yang menjadikan tuhannya (adalah) hawa nafsunya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan
ilmu (yang dimiliki) dan Allah mengunci mati pendengaranya dan hatinya dan
meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya
petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil
pelajaran? (al-Jatsiyah, 23).
Kami akan mencuplik suatu dialog dari buku diolog Sunnah Syiah, yakni ketika Ky Bisri al-Maliki, bertutur
perihal madzab atau aliran pegangan keyakinan ubudiyah kepada sang jumhur
sunnah, jumhur sunni bertutur,”……berikanlah
kepadaku tambahan kata-kata mutiara serta hasil pemikiran yang sangat bermutu,
sebab aku telah menemukan kebijakan dan kearifan di antara uraian-uraian
anda…..setelah selesai mengikuti dan menekuni uraian-uraian yang anda sajikan,
dan mendalami dalil-dalil yang anda kemukakan, benar-benar aku diliputi kebingungan,
aku melihat argumen-argumen Anda mengikat, dalil-dalil yang anda kemukakan
tidak bisa dibantah….sebagai akibat kenyataan ini, jauh dari dalam lubuk hati,
saya mendengar dua bisikan yang saling berlawanan….”
Kutipan diatas saya maksudkan untuk melihat bersama fungsi lain yang
mungkin tersamar di antara informasi-informasi formal dan informasi-informasi
yang berbentuk legislasi dan yudikasi dan aksekusi yang salama ini telah tersajikan
“professional”. Polemik-polemik di masyarakat pada semua lapisan, yang
sesungguhnya adanya polemik didalam diri kita masing-masing ini, karena
keterbatasan-keterbatasan yang melekat pada diri kita masing-masing, telah
membudaya dan mengkultur pola pemikiran “kulit” yang bersifat lapisan
superficial dan populis belaka sehingga cenderung “anti eufimisme” yang
berkarakter saklek, efektif yang dipaksakan misalnya, seseorang dengan wirid
1000 kali akan dijamin menjadi wali Allah dan menjadi ahli surga,
bersilaturahmi akan memperpanjang umur dan disiapkan surga yang mengalir
dibawahnya madu dan susu, tanpa melibatkan kondisi dan strata diri yang lain.
sebab itu saya beranggapan bahwa fungsi tersembunyi dan samar tersebut insyaallah
memliki makna dan bermanfaat untuk dipetik. Yakni watak “saling”: didalam
kehidupan tatapraja kehidupan berjamaah yang berjam’iyyah pada semua tingkatan
dan posisi pada level dimanapun saling mengisi, saling memberi, saling
menolong, saling mengingatkan bahkan kesukaan saya pepisahan didalam
kedurhakaannya.
Sebab didalam percaturan pemikiran moden dewasa ini kita sering
terlibat dalam berbagai hal pada semua elemen yang selalu diusahakan “ilmiah
dan dapat dipertanggungjawabkan”, yang biasanya juga cenderung terkonsentrasi
ke satu sudut yang “intelektual” belaka yang seakan-akan kita hanyalah
se-onggok kumpulan dari segumpal gumpalan otak belaka yang berkumpul dan
berembuk ditambah sejenis etos sikap yang mati hidup mempetahankan setiap
argument tentang kebenaran ilmiah yang kita pegang. Etos sepeti ini tidak
jarang membentuk dan membangun terbentuknya defensive buta, diongkosi harga
diri yang membatu, dan membawa kita kepada ketertutupan yang justru membendung alternative kebenaran
baru yang mungkin kita peroleh dari kesiapan kita untuk tidak saja benar, tapi
mungkin juga kurang tepat, bahkan mungkin salah dan yang sesungguhnya saling
ketergantungan. Dengan pemahaman
bahwa dunia ini sesungguhnya tidak lebih sebagai ujian dan proses menuju kepada
Diri Dzatullah, harus di proses yang keberadaannya dapat menjadi batu
penghalang untuk menyatu dengan Diri Dzatullah jika tida dinafikan
Yang terjadi kemudian adalah suatu ironi; di satu pihak kita ngotot
harus kreatif, dinamis, inovatif, di lain sisi kita jumud dan tertutup. Di satu
pihak kita meyakini relatifitas pengetahuan kita (sebagai isyarat adanya yang
Maha Mutlak dan ke-tak-terbatasan pengetahuan ke-Ilahiahan), dilain pihak dalam
waktu yang bersamaan atau jeda di lain waktu kita bersikap lemah, dengan
bersikap mutlak-mutlakan menggenggam kebenaran diri.
Tidak jarang ada pengalaman bahwa kelangsungan komunikasi,
musyawarah, dialog yang terlalu mengkotakkan diri pada garis batas ilmiah
menjadi amat muluk tetapi kabur dan keruh serta tidak jelas arah dan sasaran
finishingnya dan kebingungan sendiri saat keluar dari wilayah musayawarah
tersebut, kemudian menjadi jernih dan tampak (ternyata) bersahaja dan sederhana
saat kita “oper persneling” perwatakan dengan cara yang lebih personal-utuh,
atau lazim disebut dengan dialog dari hati ke hati, pelibatan semua
fungsi organ secara kaafah.
Didalam proses memahami ilmu-ilmu –wawasan, ataupun didalam pelaksanaan
consensus-konsensus yang telah disepakai untuk kita aplikasikan pada praktek
“laga” yang secara dialektik harus dilangsungkan sekaligus dengan proses
memahami kenyataan, saya secara pribadi sering mengalami hambatan dan kesulitan
akibat parsialisasi “ilmiah”. Sepertinya memberikan informasi bahwa
intelektualisme dan spiritualisme merupakan dimensi kejiwaan yang berdiri
sendiri-sendiri. Padahal menurut ajaran yang saya terima dan kemudia saya
memahaminya dan akhirnya saya yakini bahwa intelektualitas merupakan wujud otak
kemakhlukan yang sempit dan nisbi yang sesungguhnya merupakan lapisan paling
permukaan belaka dari ketotalitasan kaafatul
Islam yang daya dorong spiritnya sebagai spiritualitas ke ilahiahan yang
tak terbatas, yang diujung-ujungnya (mestinya) memancarkan kebenaran Haq-haq
Junjungan Nabi SAW dan kebenaran Mutlak al-Haq-Nya Diri Dzatullah.
Pemikiran mujahid dan mujtahid yang mengatasnamakan pemikiran
pembaharu Islam sekalipun, kalau tidak salah persepsi juga sering (kalau tidak
dikatakan selalu) terjebak oleh kecenderungan parsialitas mengkotak-kotak
semacam ini. Rasanya belum pernah kita mendengar atau membaca suatu tulisan
tokoh nasional ataupun tokoh agama yang menghadirkan diri ditengah percaturan
pemikiran dengan penuh arif dan memancarkan tidak saja kepintaran, tetapi juga
kematangan, kedewasaan, terbuka dan kuat, sarat dengan penyerahan totalitas
pada Keberanan Ber-Tuhan, shabar dan tawadhu’, utuh dan bulat kemudian pada
pertengahan dioalog atau di penghujung pembicaraan bertutur, “mendengar
kata-kata Tuan, saya jadi diliputi rasa bingung, dan jauh dalam diriku di lubuk
hati yang terdalam ada dua bisikan yang berlawanan, yang satu mempertahankan
atas apa yang telah saya yakini dan yang kedua membenarkan apa yang telah Anda
Tuan sampaikan sebagai hal informasi baru yang kebenaran tidak diragukan”
–setidaknya memancarkan keinsafan akan kelemahan manusia dihadapan Tuhan, yang
Ke-Mutlakan MengadaNya tidak sedetikpun pernah absen dari dalam diri manusia.
Demikian cakrawala makalah ini ditulis dengan menyodorkan dialektika
yang dimaksudkan sebagai bahan renungan kita bersama didalam berjamaah dan
berjam’iyyah, di POMOSDA.
Dan semoga dengan dasar Dhawuh Guru semoga selalu dalam ridha, fadhal
dan Rahmat-Allah dan semoga selalu mendapatkan Berberan, Berkah, Sawab dan
Pangestu Guru Wasithah….amiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar