Rabu, 12 Agustus 2015

Penghalang yang sering tidak kita sadari

Penghalang yang sering tidak sadari
SAYA SERING MENEMUKAN DIRI SAYA SENDIRI DALAM KEADAAN TERLENA, SAYA SERING MENTERTAWAKAN DIRI SAYA SENDIRI, BETAPA SERINGNYA SAYA (TIBA-TIBA) ADA BISIKAN HATI, "INI ORANG KOLOT AMAT, DAN SOK" TERKADANG SAYA MARAH DAN KECEWA, SETELAH SAYA SELAMI EHH... TERNYATA, SAYA SAMA SAJA, TIBA-TIBA SAYA TIDAK SENANG KEPADA ORANG LAIN HANYA KARENA MENILAI SISI LAHIRNYA. YAA ALLAH AMPUNI SAYA. 
Di dalam Al-Qur’an, 91. Asy syams, 8 Allah telah menyebutkan pilihan bagi kita sebagai manusia penduduk bumi. Allah memberikan pilihan terserah masing-masing “diri” dari kita akan menjadi taqwa atau fasiq.
Kita akan menjadi yang bertaqwa atau kita akan menjadi orang yang fasiq adalah tergantung dari pilihan kita sendiri. Jika kita memilih jalan untuk menjadi orang yang bertaqwa, jiwa kita mesti bersih dari kotoran-kotorannya, barang siapa yang mensucikan dirinya maka itu untuk dirinya sendiri. Allah berfirman, “beruntunglah” orang-orang yang membersihkan jiwa dan merugilah orang-orang yang mengotorinya”.
Kalimat beruntung, adalah diluar kuasa kita, ada si pembuat sehingga menjadi berkatagori untung. Sedang didalam ayat al-Qur’an disebutkan sebaga “aflaha” dari kata “falahun” sedang miflahun adalah petani, dikatakan falahun sebab melakukan pengolahan tanah dan membajaknya, supaya dapat ditanami dan tanahnya supaya lunak. Dan merugilah orang-orang yang mengotorinya, khobun adalah kaku, keras tidak bisa diolah, tanah yang tidak pernah tersentuh oleh air, sehingga menjadikan tanaman yang ditanam di tanah yang seperti ini akan mati.
Kemudian kita akan memilih yang mana??? Adalah tergantung dari pilihan kita sendiri, memilih untuk memiliki kebahagian, kedamaian dan ketentraman atau memilih kerusakan, kecarutmarutan, amboradul. Kita akan memilih menjadi orang-orang yang rendah hati, sopan, santun, lapang dada, hati terbuka dan nyegoro, berani menerima kekurangan diri dan berani mengakui kelebihan orang lain atau menjadi pribadi yang keras kepala, sombong, arogan, semaunya sendiri, memilih kesenangan-kesenangan dunia dan dengan segala materialnya.
Betapa kemasan-kemasan kesombongan dan arogansi telah dikemas sedemikian lihainya dan begitu cantiknya, sehingga untuk mengetahuinya apakah kita terjerumus oleh lingkaran nafsu dan syetan membutuhkan perenungan dan kedalaman berfikir untuk keselamatan diri kita sendiri.
Memang selamat dan tidak selamat itu adalah hak setiap individu masing-masing, artinya bahwa meninggal dunia itu yang merasakan adalah diri masing-masing. Dan sesungguhnya kebahagian dan ketentraman itu juga bersifat individu demikian juga arogan dendam, hati panas pikiran keras kepala itu adalah sifat perilaku masing-masing diri. Namun memiliki pengaruh dan berpengaruh sehingga mempengaruhi orang lain, lingkungan dan masyarakatnya. Yang dapat dibagi-bagi itu adalah kesenangan.
Dimana antara bahagia dan senang juga sering terjadi jumbuh dan rancu. Jika ada anak kecil yang meminta es krim, dan kita belikan es krim maka dia senang, (kebahagiannya) adalah saat senang tersebut. Jika kesenangan yang seperti ini dianggap bahagia, maka batas waktunya adalah seumur es krim tersebut. Padahal kebahagian itu bersifat batini, bersifat kedalam, bersifat mikrokismis, individu.
Kebahagian letaknya didalam hati sedang kesenangan bersifat lahiri. Jika kebahagian diletakkan pada hal yang besifat lahiriyah, diukur dari yang tampak dan lahir semata, maka tidak akan pernah dapat dipenuhi, sebab karakter watak manusia selalu kurang, tidak akan pernah terpuaskan.
Saya kembali ke paragraf ke lima, sesungguhnya penghalang seseorang untuk mencapai kebenaran kebahagian dan hakekat-hakekatnya, kita ini mesti merogoh, menyelami yang didalami. Yang disebut manusia itu apa?? Bagaimana kita memahaminya, apakah manusia didefinisikan sebagai seonggok tubuh, organ, dan otak-pikiran, hayawanu natiq, hewan yang berpikir. Atau kita akan memahami kedalamannya, bahwa manusia itu intinya adalah apa yang berada didalam hatinya. sebab, definisi manusia yang kita anut dan kita fahami kemudian dijadikan sebagai pegangan ITU AKAN SANGAT MENENTUKAN perilaku serta karakter yang akan kita buat dan sikap yang akan kita ambil, yang akan berpengaruh langsung terhadap perilaku sosial-kemasyarakatan. Memanusiakan manusia atau menghewankan manusia tergantung diri kita sendiri-sendiri.
Dibutuhkan tidak hanya kepandaian untuk bisa memahami hal-hal tersebut, tetapi juga kerendahan hati, lapang dada, “nyegoro” pikiran jernih, dan jauh dari watak arogansi dan kesombongan. Ketaqwaan berada didalam pengendalian diri.
Arogansi dan kesombongan sering dibungkus oleh hal-hal yang bersifat material; pakaian, sorban, sajadah, gedung megah nan mewah, tempat-tempat ibadah. Arogansi dan kesombongan juga sering dibungkus oleh perilaku dan perkataan bahkan dengan perilaku ibadah ritual, kesombongan juga sering dibungkus oleh intelektual, kepandaian.
Kerendahan, keagungan, kemulian, kesucian tidaklah diukur oleh hal-hal diatas, kita boleh berjas rapi, namun tidak meninggalkan kerendahan dan ketulusan hati, kita boleh berjubah dan bersorban namun tidak menghalangi untuk menerima masukan, usulan, dan pengakuan kelebihan oarang lain serta kesadaran hamba dan kepedulian. Kita boleh banyak memiliki ilmu dan bergelar setinggi langit, namun tidak menutup diri belajar dari siapapun, walau gelandangan tanpa pendidikan sekalipun. Semua itu dilakukan hanya untuk memudahkan identifikasi dan mudah untuk dikenali.
Sama sekali tidak merasa diri lebih tinggi jika ada orang yang hanya berpakaian ala kadarnya, tidak merasa lebih mulia saat ada orang yang berpakaian lusuh, berani menerima bahkan kritik (walau nyatanya kritik adalah berat untuk diterima siapa saja) walau saat berjas, berani belajar dengan kerendahan hati dan pikiran terbuka walau telah dikenal sebagai ilmuan dan intelektual.
Bahkan arogansi dan kesombongan sering tampak dari perilaku-perilaku, keturunan keluarga, kelompok, golongan, politiknya, keyakinan dan agamanya. Bangga terhadap kelompoknya, bangga terhadap keluarganya dan nenek moyangnya, bangga terhadap keyakinannya, bangga terhadap agamanya......boleh...silahkan!!!, namun tidak selayaknya dan tidak pada tempatnya jika, kebanggaan-kebanggaan itu dijadikan sebagai perilaku, watak dan karakter menjadi ego, arogansi dan sombong. Sehingga saling mengkritik, saling mengolok, saling menjegal dan masih banyak lagi jenis-jenisnya.
Tulisan ini dibuat, dimaksudkan untuk pembelajaran kami sendiri yang menyadari sebagai manusia tempatnya salah dan dosa.

Da’a tanjung

Selasa, 11 Agustus 2015

realisasi syukur

Realisasi syukur

Bersyukur adalah perilaku mendobrak paradigma perubahan diri.

Syukur-1
Syukur bukan sekedar kalimat “alhamdulillah” tanpa realitas, bukan sekedar lesan tanpa hati, bukan sekedar pikiran tanpa selaman makna, bukan bagi-bagi makan dan perut tanpa membangun spirit, juga bukan besar-besaran hewan yang disembelih, namun, perilaku hewan tidak ikut desembelih. Syukur adalah karakter, watak dan sifat serta perilaku penghambaan. Bagi pelaku syukur akan berpengaruh terhadap diri dan lingkungan:

Seandainya kita semua menyadari betapa luar-biasanya makna syukur dan shalawat dan diterapkan dalam kehidupan sehari-sehari maka umat Islam dan bangsa dan negara kita:

Terbangun situasi dan kondisi damai, aman, nyaman, menyejukkan.

Masyarakat dan lingkungan kita akan memiliki tingkat sosial yang tinggi, respon, respek dan  peduli

Setiap individu dari setiap masyarakatnya akan saling membantu, saling menolong saling pengertian, saling memaklumi, saling mendukung.

Masyarakat kita akan terus berkembang maju, dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, serta mandiri.

Dan perkembangan mengenai pengetahuan perihal diri, perkembangan diri dan manusia sebagai makhluk spiritual akan terjawab, guna membuka hakekat manusia, hakekat dunia dan berdunia serta hakekat hidup.

Serta dalam perilaku agama dan sosial serta berbangsa dan bernegara tidak akan terpecah-pecah dalam faham sekuler materalistis.

Kemudian, ada pertanyaan apa iya dan kenapa serta bagaimana???
Syukur adalah Syakara, perilaku batin yang lapang dada dan terbuka, membuka, dibuka sehingga, karakter wataknya menghormati, menghargai, pandai menyesuaikan diri, pandai mengalah, senang membantu orang lain, senang meringankan beban orang lain, pandai memaklumi kekurangan orang lain, berani mengakui kekurangan diri, berani mengakui kelebihan orang lain dan perilakunya andap asor, sopan, santun, lemah lembut. Seseorang yang sangat menyadari terhadap fungsi telinga, fungsi mata, fungsi otak dan pikiran dan hati adalah untuk perkembangan kemajuan dirinya, kamajuan lahir dan batinnya dan memperhatikan situasi dan kondisi lingkungannya, masyarakatnya, bahkan, bangsa dan negaranya. Semuanya demi untuk perkembangan spiritual dirinya. Bahkan berpegang pada keyakinan kebenaran agamanya..... iya...namun, tidak akan kaku, fanatik, jumud dan ta’asub, tetap terbuka, membuka dan akan dibuka, siap menerima kebenaran, dan melakukan perkembangan serta kemajuan.
Semua dari masing-masing fungsi organ tersebut sangat tergantung bagaimana penetapan orientasi (haniifa) posisioning dari hati (qalb). Jika yang ditetapkan didalam hatinya, yang diwujudkan dalam niatan dan tujuan hatinya adalah jabatan maka, semua fungsi organ yang ada dalam diri manusia akan dipergunakan untuk mencapai maksud dari yang telah diorientasikan oleh hatinya, dengan berbagai cara untuk memperoleh jabatan dan karir. Jika yang ditetapkan dalam niat dan tujuan hatinya adalah material uang yang banyak, maka semua organ dan pemikirannya adalah mati-matian untuk memperoleh uang bahkan, dengan cara-cara yang tidak halal sekalipun. Dan saat yang diorientasikan itu apapun namannya saat masih tetap diletakkan pada yang bersifat materi, kebendaan dan dunia maka semua fungsi organ tubuh dan pikiran akan terhisap habis pada kerja hati tersebut.
Maka kenapa Nabi Muhammad SAW telah mensabdakan “betapa pentingnya niat, segala sesuatunya tergantung dari niatannya, diterima dan ditolaknya amal tergantung dari niatan yang menyertai”. Didalam QS Al-Ahzab, Allah berfirman, “Allah sekali-kali tidak akan menjadikan bagi seseorang dua hati didalam rongga dadanya”. Jika hati sanubari yang berfungsi maka, hati nuraninya mati dan jika hati nurani yang berfungsi maka, hati sanubarinya mati.
 33. al-Ahzab, 4
مَّا جَعَلَ ٱللَّهُ لِرَجُلٖ مِّن قَلۡبَيۡنِ فِي جَوۡفِهِۦۚ .... ٤
Jika niatan hatinya diletakkan pada hati sanubari, sehingga hati sanubari yang berfungsi maka, akibatnya akan memiliki daya penghancur dan merusak dirinya dan lingkungannya, berbagai cara akan ditempuh untuk memperoleh apa yang diinginkan, sehingga akan menggunakan cara-cara yang; merusak persaudaan, merusak hubungan silaturahmi, merusak kesatuan dan persatuan, sikap dan watak tidak peduli, perilaku egois dan pembenar diri, golongannya, kelompoknya, partainya, agamanya dan keyakinannya.
Namun jika niatannya diletakkan pada nilai-nilai ibadah, nilai-nilai dalam kesadaran hamba dalam penghambaan, nilai-nilai yang tidak diorientasikan pada angka-angka apapun itu, pahala, ganjaran, surga, neraka. Diletakkan pada nilai-nilai keselamatan, kedamaian, ketentraman. Nilai-nilai “ulul-albab”. Hal ini tidak akan mengurangi aktifitas berdunianya, usaha ikhtiyar yang dilakukan, interaksi sosial yang dijalani, berorgansiasi, bertata negara maka, cara-cara yang digunakan untuk berdunia, cara-cara untuk bekerja, cara-cara berinovasi dan berkreasinya akan membangun kebersamaan, kekeluargaan, kesatuan dan persatuan yang kokoh dan solid.
          Jika kecintaan seseorang diletakkan pada yang bersifat kebendaan material dunia maka, bukan kebahagian, ketentraman, kedamaian yang diperoleh. Kita akan dihadapkan kepada kejenuhan, kita akan dihadapkan kepada rusaknya benda-benda yang kita kira membahagiakan, kita akan dihadapakan kepada persaingan-persaingan yang sesungguhnya tanpa persainganpun harus dilakukan dengan sungguh-sungguh. Cinta yang melekat (Kumantil) pada uang, jika habis merana dan susah, cinta yang melekat pada jabatan maka jika pensiun, jantungan dan stroke serta darah tinggi, begitu seterusnya.
Untuk itu semua maka, syukur adalah sebuah kata yang memiliki dimensi luar biasa dalam mefungsikan hati nurani, otak-akal-pikiran, dan organ. Allah telah menjadikan pendengaran, penglihatan dan kecondongan dalam memcermati faedah dan kemanfaatan supaya hati nurani berfungsi. Dengan pendengaran dan penglihatannya maka kita bisa berkembang, maju dan dipandaikan, dengan af’idah akan menjadikan hatinya lembut, lepang dada, terbuka.    
Pendengaran, penglihatan, dan hati 23. Al Mu'minuun 78
      وَهُوَ ٱلَّذِيٓ أَنشَأَ لَكُمُ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡأَبۡصَٰرَ وَٱلۡأَفۡ‍ِٔدَةَۚ قَلِيلٗا مَّا تَشۡكُرُونَ ٧٨
Dan Dialah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian, pendengaran, penglihatan dan hati. Amat sedikitlah kamu bersyukur

Allah menciptakn dengan assam’a, abshoro dan af’idah 16. An-Nahl 78
 وَٱللَّهُ أَخۡرَجَكُم مِّنۢ بُطُونِ أُمَّهَٰتِكُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ شَيۡ‍ٔٗا وَجَعَلَ لَكُمُ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡأَبۡصَٰرَ وَٱلۡأَفۡ‍ِٔدَةَ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ ٧٨
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur
Adzan adalah seruan yang sangat kuat, saat seruan Tuhanmu dikumandangkan, seruan mengenai kebenaran keberagamaan dan bertuhan, dengan membuka pendengarannya, penglihatannya, dan hatinya. Membuka pikirannya dengan menjauhkan dari sifat-sifat kekufurannya yaitu sifat-sifat dengan egonya, dengan telah merasa cukupnya, dengan iri, dengkinya, dengan merasa pandainya. Tutup-tutup sifat-sifat kekufuran yang dapat menjadi kubur dalam melihat kebenaran sejati. Sebab manakala berperilaku sebaliknya yakni kufur, periku menutup, tertutup dan ditutup maka, azab. kufur ini watak, sifat dan perilku kuburan. perilaku yang akan akan menjadikan tidak akan berkembang dan tidak akan maju, malah kemunduran, dada sesak pikiran sempit dan picik akibatnya azab.
Syukur. Ibrahim 7
وَإِذۡ تَأَذَّنَ رَبُّكُمۡ لَئِن شَكَرۡتُمۡ لَأَزِيدَنَّكُمۡۖ وَلَئِن كَفَرۡتُمۡ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٞ ٧

Bahkan sedikit dari hambanya yang bersyukur 34. Saba’ 13

وَقَلِيلٞ مِّنۡ عِبَادِيَ ٱلشَّكُورُ

Dan sedikit sekali dari hamba-Ku yang (memiliki sifat, watak dan karakter) syukur.
Qaliilun adalah langka, jarang sekali pelakunya. Sykur adalah sesuatu yang istimewa diperuntukkan bagi hamba-hamba-Nya yang dirahmati.
Semoga tulisan artikel ini bermanfaat dan berfaedah dpat diambil manfaatnya sampai pada tingkat hikmah, bisa di loading jika berkenan, namun jika tidak berkenan maka, abaikan.
dari@da’a tanjung alfaqiri


Senin, 10 Agustus 2015

kebhinnekaan dalam beragama

BHINNEKA TUNGGAL IKA TAN HANA DHARMA MANGRWA, TUNGGA DEWA
BERANEKA RAGAM (kegiatan dan aktifitas ajaran, kebiasaan, kebudayaan, adat-istiadat, kepercayaan, keyakinan keberagamaan serta keimanan) DALAM PERSATUAN DAN KESATUAN (yang  manunggal)  SEJATI  ITU, (adalah) TIADA (dalam) KETELADAN –Aktivitas, kebenaran, kebaikan dan keadilan dalam pemikiran, serta watak, sifat, karakter dan perbuatan- YANG MERUSAK DAN MELENCENG, (itulah) KEMULIAAN MALAKAH ILAHIYAH RUBBUBIYAH RABBANIYAH. KESATUAN DAN PERSATUAN, KEKELUARGAAN serta KEMERDEKAAN YANG SEJATI MURNI, MERDEKA LAHIR DAN MERDEKA BATIN.
Berbagai  ragam (pengalaman lahir dan batin) menuju KebenaranNya, menuju KeadilanNya, menuju Al-Haq-Nya. Adalah Perwujudan al-Haq min robbika, Kebenaran dan keadilan milik Tuhan, hak Tuhan, wilayah Tuhan pada perwujudan dalam semua aktifitas kegiatan sehari-harinya memproses diri mendekat-mengenali KeberadaanNya sampai pada kesadaran “manunggal” kepada Tuhan YME, realisasi diatas kesadaran “laa haula wala quwwata illa billah”, tidak ada daya dan kekuatan kecuali Daya dan Kekuatan hanya dengan Allah; “kesadaran atas pencerahan dalam ketiadaan aku dengan tenggelam dalam Sang Aku” ; “muksa wujud ing dalem Wujud Kang Sejatining Wujud” ;  “tinggalah di dalam Aku, dan Aku tinggal di dalam kamu, sebab di luar Aku, kamu tidak bisa apa-apa”, Itu semua adalah perwujudan pencerahan tajalli Diri Tuhan dalam ketiadaan wujud akunya nafsu. Itulah sesungguhnya eksistensi.
Kebenaran dan keadilan adalah milik Tuhan, hak Tuhan, wilayah Tuhan. KEBENARAN adalah AL-HAQ MIN ROBBIKA dan tidak akan bergeser sedikitpun oleh kalimat dan uraian hasil pemikiran dan perbuatan, KEBENARAN TETAPLAH KEBENARAN tidak akan pernah sama sekali berubah menjadi apapun, dibela atau di dukung, dimusihi atau dibenci. Kebenaran tidak akan pernah tergerus oleh waktu, oleh keadaan, oleh kondisi dan situasi apapun, sekalipun oleh perubahan dan pergantian zaman tidak akan pernah berubah dan tergerus oleh apapun.
Al-HAQ MIN ROBBIKA adalah DHARMA “BUDI” KEBAIKAN, KEBENARAN dan KEADILAN. Itulah “KETELADANAN” yaitu perilaku yang memiliki orientasi:
pertama; PENINGKATAN DAN KEMAJUAN KESADARAN “KEMANUSIAAN”, manusia yang mengetahui hakekat fitrah manusianya, yang asal fitrah dari fitrah Allah Sendiri. inilah KESADARAN LAPIS INTI MANUSIA. Pengetahuan dan pemahaman mengenai asal mula kejadian diri,  pengetahuan tentang diri, hakekat diri, dari mana asal kehidupan, untuk apa kehidupan, apa dan bagaimana kehidupan, apa dan bagaimana tujuan kehidupan, apa dan bagaimana serta kemana kehidupan setelah masa pakai jasad habis. Makna dan nilai-nilai hidup apa dan bagaimana kehidupan dijalankan.
Kerumitan dan Permasalahan hidup dan kehidupan sesungguhnya ada pada diri. Kebersihan dan kesucian pada hakekatnya tidak pada (semata-mata) anggapan di tempat-tempat suci, pun kesesatan, kemusyrikan, kekafiran juga tidak (semata-mata) di tempat-tempat yang dianggap najis dan kotor, namun sesungguhnya kekotoran, kesesatan, kemusyrikan, kekafiran berada di dalam pikiran dan didalam hati. Sekalipun bangkai babi dan bangkai anjing dimasukkan kedalam samudra tidak akan merubah laut menjadi najis, samudra tetap suci dan mensucikan, walaupun bukan berarti merubah bangkai menjadi suci dan halal.
Kedua; PENINGKATAN DAN KEMAJUAN SOSIAL KEMASYARAKATAN SAMPAI PADA TINGKAT KEPEDULIAN OPERASIONAL. Tidak sekedar keterjagaan keharmonisan, lebih dari itu adalah terjadi peningkatan dan kemajuan pada tingkat sosial dan masyarakat, dengan  saling mengikatkan diri dengan watak, dan sifat serta sikap perilaku yang saling menghormati, saling menghargai, saling mendukung, saling lindung-melindungi, saling tolong menolong, serta musyawarahan. Meminimalisir bahkan menghilangkan kepentingan diri, ego diri, dan nafsu keakuan, merealisasikan kesadaran bahwa kesatuan dan persatuan hanya dapat diwujudkan dengan membangun kebersamaan, kekeluargaan, keguyubrukunan, demi terwujudnya pribadi yang diridhoi, yang dirahmati, yang dikasihi oleh-Nya.
Ketiga; MENDORONG PENINGKATAN dan KEMAJUAN BERPENGETAHUAN dan BERKETERAMPILAN SERTA TEKNOLOGI. Ruh dari berpengetahuan, ketrampilan dan teknologi adalah “JIWA ALFAQIR” sikap belajar sepanjang hayat, berdunia adalah “laku” meMahaSucikan Keberadaan Diri Dzat Tuhan, dengan keberanian sikap terbuka, tidak pada ego dalam pemikiran, dan tidak pada nafsu keakuan dan fanatis dalam hati. Sikap “Keteladanan” bukan semata-mata perilaku supaya di contoh, namun sebuah kebutuhan sikap bagi mereka yang membangun kesadaran dalam nilai dan makna hidup dan kehidupan, juga bukan sekedar terbatas pada pelayanan semata. Kemajuan pada peningkatan bukan sekedar misalnya, pengadaan proyek serta pengadaan alat atau media untuk lingkungan masyarakatnya, namun lebih dari itu, KETELADANAN adalah peningkatannya dan keterpengaruhannya dalam pengembangan, peningkatan dan kemajuannya. Dan hal yang esensi dan mendasar, atas sikap keteladanan adalah “lakon ibadah” sebagai alat atau media menuju keselamatan, kedamaian, pencerahan, dan kebersatuan guna pencapaian kebahagian, ketentraman dan kemerdekaan yang sejati murni.
Tungga Dewa adalah KEMULIAAN MALAKAH ILAHIYAH RUBBUBIYAH RABBANIYAH:
KEMULIAN Adalah Kedamaian, Kebahagiaan Dan Ketentraman Sejati Yang Hakiki. Kesadaran berserah diri menuju pencerahan, menuju keselamatan, menuju kedamaian.
MALAKAH    adalah kekuatan, kekuasaan, wilayah dan daya-kuat milik Tuhan semata. Bagai ikan dalam samudra, tidak ada satu selpun yang tidak diliputi oleh “KEBERADAAN” Tuhan. Sistematika dengan qudrat-iradat Allah Piyambak.
ILAHIYAH adalah  ikhtiyar, kreatifitas, kegiatan dan aktifitas yang dilakukan  dalam kalimat “Nafi” “laa ilaha” dan kalimat “itsbat” ilallah”. Kesadaran hamba atas kecintaannya pada Keberadaan Diri Dzat Tuhan, ditetapkan didalam rasa hatinya mengenai AlGhaybNya. Kesadaran bagai sang ikan, di dalam samudra, tanpa-“Nya” tidak ada kehidupan.
RUBBUBIYAH, adalah kesadaran hamba bagai ikan dalam samudra, tempat bergantungnya, tempat memohonnya, tempat bersandarnya hanya kepada Robnya.
RABBANIYAH adalah kesadaran penghamba yang memiliki niat, tekad dan tujuan yang kuat dan bulat bahwa, semua aktifitas dan kegiatan berdunianya adalah kesadaran pemrosesan diri supaya dalam pencerahan, keselamatan, kedamaian dan kebahagian dan ketentraman yang sesungguhnya, sadar hanya dengan tarikan fadhal dan rahmat Allah semata itu semuat diperolah.
Itulah Ajaran semua Nabi dan semua Rasul. Menuju PENCERAHAN dalam KEBENARAN adalah kesadaran atas penciptaan diri “ASAL” ‘MULA  MULANE  MULANIRA’  dan  kembali  kepada  ‘MULA MULANE MULANIRA’ “ONO”, dan tidak merusak  “ASAL”  MULA MULANE    MULANIRO  “ONO”.
Tulisan ini akan berlanjut pada uraian-uraian lebih lanjut:
-        Mengenai hakekat inti manusia, menganai sangkan paraning dumadi.
-        Sudah benarkah model keberagaan yang kita yakini. Antara agama, kebiasaan, budaya dan adat-istiadat.
-        Beragama tidak bisa hanya dengan bermodel yakin semata, persaksian adalah awal mula beragama.
-        Apakah sama antara agama dan addiin. Bagaimana addiin yang benar dan dibenarkan

Oleh Tanjung alfaqiri

Minggu, 09 Agustus 2015

Kesadaran ilmiah dan interaksi diri

Kesadaran ilmiah dan interaksi diri
Mudah-mudahan saya benar. Sebab, setiap saat kita menapaki “mudah-mudahan” berlanjut kepada “mudah-mudahan” berikutnya, kita tidak bisa menyimpulkan suatu tindakan hanya dari pemenggalan waktu ketika tindakan itu dilakukan: ketepatan penilaian (masa sekarang) memerlukan berbagai perangkat konteks dari masa silam dan masa datang.
Seorang pemain sepakbola –sekalipun penyerang –pada momen tertentu bisa saja menendang bola ke belakang karena ia mengoperkannya kepada, bahkan kipper, tapi lantas kita jangan menyimpulkan “pemain  kita menendang bola ke gawang sendiri”, sebagai pemain mestinya telah memiliki bekal konsepsi dasar dan perangkat strategi untuk membangun serangan, dan untuk itu bola boleh naik turun atau maju mundur. Cuman masalahnya sepakbola “komunitas pengorganisasian” kita tidak sama dengan sepakbola yang running time-nya 90 menit. Maka mudah-mudahannya kita olah menjadi bagian yang penting berwujud menjadi gol setting yang memiliki implikasi ke-dirian.
Ketika kita memperhatikan permainan –sekali lagi, sepakbola – sepaknya, PANSUS, panitia hak angket. Bolanya, bank century. Panitia pelaksananya, DPR. Boneknya, bendera, gerakan Indonesia bersatu, dll. Penjaga gawangnya, pemerintah. Maka kita teringat kaum muslimin adalah musuh satu dengan kaum muslimin lainnya dalam mekanisme ekonomi, dan apalagi politik. Penindas dan yang tertindas sama-sama beragama islam. Yang ngolok dan yang diperolok sama-sama muslim. saling adu jotos. Rentenir mengimami shalat para korbannya. Para bos-bos, juragan, partaian yang saling memperolok, menyalahkan, menjatuhkan, mereka berjamaah dan beritikaf satu shaff pada barisan shalat yang sama sambil menyimpan konteks perhubungan “politisasi ekonomis” mereka sebagai sesuatu yang seolah-olah tidak ada kaitannya dengan kepemelukan beragama mereka yakni islam mereka.
Pada skala makro, sudah menjadi pemahaman kita bersama bahwa strata terisap maupun pengisap sama-sama mengucapkan doa “tanpa dosa” dalam shalat-shalat yang mereka lakukan. Seakan-akan agama hanyalah pasal jungkir balik, sedang permasalahan-permasalahan berdunia adalah pasal-pasal yang lain sama sekali, dan tidak memiliki kaitan dan tidak berhubungan sama sekali.
Dengan kata lain, jamaah dan umat islam tidak memiliki –karena tidak perlu –adanya jama’ah yang berjam’iyyah fi-addunya yang memiliki nilai, value yang mengalir ke gawang yang sama pada niat dan tujuan dengan motif yang jelas dan sama. Mereka berjamaah hanya dalam “ritus tanpa dosa, tanpa (merasa) bersalah”, tapi tidak dalam realitas nyata karena (merasa) cukup dan merasa yakin akan sampai pada (nama) Tuhan, tanpa esensi Dzat. Sesuatu yang mestinya mendesak untuk di tafakuri, di telaah, dianalisa yang dimulai dari dalam diri, kemudian memancar ke kanan, ke kiri dan ke sekitarnya serta kepada orang lain yang terwujud pada kebersamaan dalam jamaah, yang terikat pada mahabbah birouhillah. kehidupan hanya dengan menyatakan dzikrullah sebagai realitas kehidupan, maka indahlah kehidupan tersebut.
Pada proses masa kesejarahan saat ini, ukhuwah Islamiyah sekedar berarti kirim-kiriman kartu, kirim-kiriman sms, kirim-kiriman e-mail, facebook-an. Dalam skala “besar”, mekanisme perniagaan bersifat steril –cuci-cucian –laundry dari negosiasi akidah keyakinan bahkan keimanan. Dalam skala “sedang dan kecil”, di pinggiran dan pedesaan misalnya, kalau seseorang harus merumahsakitkan keluarganya dan memerlukan biaya yang tidak sedikit, kaum (yang mengaku) muslimin di sekitarnya segera mengerumuninya untuk siap-siap berkenduri; maksudnya mendorong supaya orang tersebut atau keluarga si sakit tersebut segera menyerahkan tanah atau sawah atau ternak karbaunya kepada yang berhak memilikinya –karena punya uang pengganti –menjualnya. Kalau kepepet kan harganya merosot jauh.
Jadi seperti itulah kondisi masyarakat Indonesia saat ini, yang diwakili oleh petinggi-petinggi tersebut, suatu kondisi yang memerlukan format ulang, memerlukan peng-instalan ulang, namun demikian softwerenya sendiri juga masih semrawut dan berserakan entah diketemukan apa belum oleh mereka-mereka yang memposisikan sebagai “ahli-ahli” yang (kata KTP) tersebut adalah muslim.
Maka apakah kamu telah melihat orang yang menjadikan tuhannya (adalah) hawa nafsunya   dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu (yang dimiliki) dan Allah mengunci mati pendengaranya dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (al-Jatsiyah, 23).
Kami akan mencuplik suatu dialog dari buku diolog Sunnah Syiah, yakni ketika Ky Bisri al-Maliki, bertutur perihal madzab atau aliran pegangan keyakinan ubudiyah kepada sang jumhur sunnah, jumhur sunni bertutur,”……berikanlah kepadaku tambahan kata-kata mutiara serta hasil pemikiran yang sangat bermutu, sebab aku telah menemukan kebijakan dan kearifan di antara uraian-uraian anda…..setelah selesai mengikuti dan menekuni uraian-uraian yang anda sajikan, dan mendalami dalil-dalil yang anda kemukakan, benar-benar aku diliputi kebingungan, aku melihat argumen-argumen Anda mengikat, dalil-dalil yang anda kemukakan tidak bisa dibantah….sebagai akibat kenyataan ini, jauh dari dalam lubuk hati, saya mendengar dua bisikan yang saling berlawanan….”
Kutipan diatas saya maksudkan untuk melihat bersama fungsi lain yang mungkin tersamar di antara informasi-informasi formal dan informasi-informasi yang berbentuk legislasi dan yudikasi dan aksekusi yang salama ini telah tersajikan “professional”. Polemik-polemik di masyarakat pada semua lapisan, yang sesungguhnya adanya polemik didalam diri kita masing-masing ini, karena keterbatasan-keterbatasan yang melekat pada diri kita masing-masing, telah membudaya dan mengkultur pola pemikiran “kulit” yang bersifat lapisan superficial dan populis belaka sehingga cenderung “anti eufimisme” yang berkarakter saklek, efektif yang dipaksakan misalnya, seseorang dengan wirid 1000 kali akan dijamin menjadi wali Allah dan menjadi ahli surga, bersilaturahmi akan memperpanjang umur dan disiapkan surga yang mengalir dibawahnya madu dan susu, tanpa melibatkan kondisi dan strata diri yang lain. sebab itu saya beranggapan bahwa fungsi tersembunyi dan samar tersebut insyaallah memliki makna dan bermanfaat untuk dipetik. Yakni watak “saling”: didalam kehidupan tatapraja kehidupan berjamaah yang berjam’iyyah pada semua tingkatan dan posisi pada level dimanapun saling mengisi, saling memberi, saling menolong, saling mengingatkan bahkan kesukaan saya pepisahan didalam kedurhakaannya.
Sebab didalam percaturan pemikiran moden dewasa ini kita sering terlibat dalam berbagai hal pada semua elemen yang selalu diusahakan “ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan”, yang biasanya juga cenderung terkonsentrasi ke satu sudut yang “intelektual” belaka yang seakan-akan kita hanyalah se-onggok kumpulan dari segumpal gumpalan otak belaka yang berkumpul dan berembuk ditambah sejenis etos sikap yang mati hidup mempetahankan setiap argument tentang kebenaran ilmiah yang kita pegang. Etos sepeti ini tidak jarang membentuk dan membangun terbentuknya defensive buta, diongkosi harga diri yang membatu, dan membawa kita kepada ketertutupan  yang justru membendung alternative kebenaran baru yang mungkin kita peroleh dari kesiapan kita untuk tidak saja benar, tapi mungkin juga kurang tepat, bahkan mungkin salah dan yang sesungguhnya saling ketergantungan. Dengan pemahaman bahwa dunia ini sesungguhnya tidak lebih sebagai ujian dan proses menuju kepada Diri Dzatullah, harus di proses yang keberadaannya dapat menjadi batu penghalang untuk menyatu dengan Diri Dzatullah jika tida dinafikan
Yang terjadi kemudian adalah suatu ironi; di satu pihak kita ngotot harus kreatif, dinamis, inovatif, di lain sisi kita jumud dan tertutup. Di satu pihak kita meyakini relatifitas pengetahuan kita (sebagai isyarat adanya yang Maha Mutlak dan ke-tak-terbatasan pengetahuan ke-Ilahiahan), dilain pihak dalam waktu yang bersamaan atau jeda di lain waktu kita bersikap lemah, dengan bersikap mutlak-mutlakan menggenggam kebenaran diri.
Tidak jarang ada pengalaman bahwa kelangsungan komunikasi, musyawarah, dialog yang terlalu mengkotakkan diri pada garis batas ilmiah menjadi amat muluk tetapi kabur dan keruh serta tidak jelas arah dan sasaran finishingnya dan kebingungan sendiri saat keluar dari wilayah musayawarah tersebut, kemudian menjadi jernih dan tampak (ternyata) bersahaja dan sederhana saat kita “oper persneling” perwatakan dengan cara yang lebih personal-utuh, atau lazim disebut dengan dialog dari hati ke hati, pelibatan semua fungsi organ secara kaafah.
Didalam proses memahami ilmu-ilmu –wawasan, ataupun didalam pelaksanaan consensus-konsensus yang telah disepakai untuk kita aplikasikan pada praktek “laga” yang secara dialektik harus dilangsungkan sekaligus dengan proses memahami kenyataan, saya secara pribadi sering mengalami hambatan dan kesulitan akibat parsialisasi “ilmiah”. Sepertinya memberikan informasi bahwa intelektualisme dan spiritualisme merupakan dimensi kejiwaan yang berdiri sendiri-sendiri. Padahal menurut ajaran yang saya terima dan kemudia saya memahaminya dan akhirnya saya yakini bahwa intelektualitas merupakan wujud otak kemakhlukan yang sempit dan nisbi yang sesungguhnya merupakan lapisan paling permukaan belaka dari ketotalitasan kaafatul Islam yang daya dorong spiritnya sebagai spiritualitas ke ilahiahan yang tak terbatas, yang diujung-ujungnya (mestinya) memancarkan kebenaran Haq-haq Junjungan Nabi SAW dan kebenaran Mutlak al-Haq-Nya Diri Dzatullah.
Pemikiran mujahid dan mujtahid yang mengatasnamakan pemikiran pembaharu Islam sekalipun, kalau tidak salah persepsi juga sering (kalau tidak dikatakan selalu) terjebak oleh kecenderungan parsialitas mengkotak-kotak semacam ini. Rasanya belum pernah kita mendengar atau membaca suatu tulisan tokoh nasional ataupun tokoh agama yang menghadirkan diri ditengah percaturan pemikiran dengan penuh arif dan memancarkan tidak saja kepintaran, tetapi juga kematangan, kedewasaan, terbuka dan kuat, sarat dengan penyerahan totalitas pada Keberanan Ber-Tuhan, shabar dan tawadhu’, utuh dan bulat kemudian pada pertengahan dioalog atau di penghujung pembicaraan bertutur, “mendengar kata-kata Tuan, saya jadi diliputi rasa bingung, dan jauh dalam diriku di lubuk hati yang terdalam ada dua bisikan yang berlawanan, yang satu mempertahankan atas apa yang telah saya yakini dan yang kedua membenarkan apa yang telah Anda Tuan sampaikan sebagai hal informasi baru yang kebenaran tidak diragukan” –setidaknya memancarkan keinsafan akan kelemahan manusia dihadapan Tuhan, yang Ke-Mutlakan MengadaNya tidak sedetikpun pernah absen dari dalam diri manusia.
Demikian cakrawala makalah ini ditulis dengan menyodorkan dialektika yang dimaksudkan sebagai bahan renungan kita bersama didalam berjamaah dan berjam’iyyah, di POMOSDA.

Dan semoga dengan dasar Dhawuh Guru semoga selalu dalam ridha, fadhal dan Rahmat-Allah dan semoga selalu mendapatkan Berberan, Berkah, Sawab dan Pangestu Guru Wasithah….amiin.

Di mana aku, kami, kita dan mereka, mungkinkah pengakuan.

Di mana aku, kami, kita dan mereka, mungkinkah pengakuan.
Agama, telah menjadi alat kekuasaan dan keuangan.
Tuhan menjadi alat menggolkan kepentingan, dengan berlagak bijak dan arif, bahkan dengan alat laber gelar hajipun untuk alat. Dengan mengucap bismillah, dan dua kalimah syahadat untuk melakukan penindasan dan mengisap.
Rakyat menjadi aset komoditi menghitung angka-angkat keuntungan. Berarti peluang “proyek semakin besar”
Demokrasi menjadi alat saling mambantai, saling olok, saling menggunjing, indahnya dapat memperolok orang lain yang sebangsa dan sesama rakyat.
Demontrasi marak menjadi alat rakyat kecil dan yang merasa tertindas melawan kebijakan pemerintahan, dengan teriak “AllahuAkbar” lampar batu, lampar bata.. AllahuAkbar bergeser menjadi bagian dari kata umpatan.
Pemerintahan saat ini seandainya diumpamakan permainan sepakbola. Telah terjadi perkelahian, saling jegal, saling tendang, saling jotos. Berebut bola sesama satu tim, sehingga lawan tinggal nonton, menunggu bola masuk, tidak perlu bekerja untuk mencapai kemenangan. Bahkan mendapat hiburan gratis. Wasitnya yang bingung, karena belum pernah ada kejadian wasit mengelurkan kartu kuning ataupun kartu merah akibat pelanggaran oleh sesama tim. Akhirnya si wasitpun hanya nonton. Sudah menjadi kelaziman bahwa, sepak bola indonesia prestasi belum diprioritaskan, sebab melerai tawuran antar suporter saja kebingungan, bagaimana caranya. Penggambaran pada dunia sepak bola dengan manajemen sepak bola Indonesia yang carut marut, ini sesungguhnya juga menggambrkan pemerintahan kita yang amboradul.
Lhaah kalau kondisi bangsa ini disamakan dengan permainan sepak bola, maka penontonnyapun sekarang menjadi penonton dan menjadi komentator. Maka sayapun teringat kaum muslimin adalah musuh satu dengan kaum muslimin lainnya dalam mekanisme ekonomi, dan apalagi politik. Penindas dan yang tertindas sama-sama beragama islam. Yang ngolok dan yang diperolok sama-sama muslim. saling adu jotos. Rentenir mengimami shalat para korbannya. Para bos-bos, juragan, partaian yang saling memperolok, menyalahkan, menjatuhkan, mereka berjamaah dan beritikaf satu shaff pada barisan shalat yang sama sambil menyimpan konteks perhubungan “politisasi ekonomis” mereka sebagai sesuatu yang seolah-olah tidak ada kaitannya dengan kepemelukan beragama mereka yakni islam mereka.
Pada skala makro, sudah menjadi pemahaman kita bersama bahwa strata terisap maupun pengisap sama-sama mengucapkan doa “tanpa dosa” dalam shalat-shalat yang mereka lakukan. Seakan-akan agama hanyalah pasal jungkir balik, sedang permasalahan-permasalahan berdunia adalah pasal-pasal yang lain sama sekali, dan tidak memiliki kaitan dan tidak berhubungan sama sekali.
Dengan kata lain, jamaah dan umat islam tidak memiliki –karena tidak perlu –adanya jama’ah yang berjam’iyyah fi-addunya yang memiliki nilai, value yang mengalir ke gawang yang sama pada niat dan tujuan dengan motif yang jelas dan sama. Mereka berjamaah hanya dalam “ritus tanpa dosa, tanpa (merasa) bersalah”, tapi tidak dalam realitas nyata karena (merasa) cukup dan merasa yakin akan sampai pada (nama) Tuhan, tanpa esensi Dzat. Sesuatu yang mestinya mendesak untuk di tafakuri, di telaah, dianalisa yang dimulai dari dalam diri, kemudian memancar ke kanan, ke kiri dan ke sekitarnya serta kepada orang lain yang terwujud pada kebersamaan dalam jamaah, yang terikat pada mahabbah birouhillah. kehidupan hanya dengan menyatakan dzikrullah sebagai realitas kehidupan, maka indahlah kehidupan tersebut.
Pada proses masa kesejarahan saat ini, ukhuwah Islamiyah sekedar berarti kirim-kiriman kartu, kirim-kiriman sms, kirim-kiriman e-mail, facebook-an. Dalam skala “besar”, mekanisme perniagaan bersifat steril –cuci-cucian –laundry dari negosiasi akidah keyakinan bahkan keimanan. Dalam skala “sedang dan kecil”, di pinggiran dan pedesaan misalnya, kalau seseorang harus merumahsakitkan keluarganya dan memerlukan biaya yang tidak sedikit, kaum (yang mengaku) muslimin di sekitarnya segera mengerumuninya untuk siap-siap berkenduri; maksudnya mendorong supaya orang tersebut atau keluarga si sakit tersebut segera menyerahkan tanah atau sawah atau ternak karbaunya kepada yang berhak memilikinya –karena punya uang pengganti –menjualnya. Kalau kepepet kan harganya merosot jauh.
Jadi seperti itulah kondisi masyarakat Indonesia saat ini, yang diwakili oleh petinggi-petinggi tersebut, suatu kondisi yang memerlukan format ulang, memerlukan peng-instalan ulang, namun demikian softwerenya sendiri juga masih semrawut dan berserakan entah diketemukan apa belum oleh mereka-mereka yang memposisikan sebagai “ahli-ahli” yang (kata KTP) tersebut adalah muslim.
Maka apakah kamu telah melihat orang yang menjadikan tuhannya (adalah) hawa nafsunya   dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu (yang dimiliki) dan Allah mengunci mati pendengaranya dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (al-Jatsiyah, 23).
Kami akan mencuplik suatu dialog dari buku diolog Sunnah Syiah, yakni ketika Ky Bisri al-Maliki, bertutur perihal madzab atau aliran pegangan keyakinan ubudiyah kepada sang jumhur sunnah, jumhur sunni bertutur,”……berikanlah kepadaku tambahan kata-kata mutiara serta hasil pemikiran yang sangat bermutu, sebab aku telah menemukan kebijakan dan kearifan di antara uraian-uraian anda…..setelah selesai mengikuti dan menekuni uraian-uraian yang anda sajikan, dan mendalami dalil-dalil yang anda kemukakan, benar-benar aku diliputi kebingungan, aku melihat argumen-argumen Anda mengikat, dalil-dalil yang anda kemukakan tidak bisa dibantah….sebagai akibat kenyataan ini, jauh dari dalam lubuk hati, saya mendengar dua bisikan yang saling berlawanan….”
Kutipan diatas saya maksudkan untuk melihat bersama fungsi lain yang mungkin tersamar di antara informasi-informasi formal dan informasi-informasi yang berbentuk legislasi dan yudikasi dan aksekusi yang salama ini telah tersajikan “professional”. Polemik-polemik di masyarakat pada semua lapisan, yang sesungguhnya adanya polemik didalam diri kita masing-masing ini, karena keterbatasan-keterbatasan yang melekat pada diri kita masing-masing, telah membudaya dan mengkultur pola pemikiran “kulit” yang bersifat lapisan superficial dan populis belaka sehingga cenderung “anti eufimisme” yang berkarakter saklek, efektif yang dipaksakan misalnya, seseorang dengan wirid 1000 kali akan dijamin menjadi wali Allah dan menjadi ahli surga, bersilaturahmi akan memperpanjang umur dan disiapkan surga yang mengalir dibawahnya madu dan susu, tanpa melibatkan kondisi dan strata diri yang lain. sebab itu saya beranggapan bahwa fungsi tersembunyi dan samar tersebut insyaallah memliki makna dan bermanfaat untuk dipetik. Yakni watak “saling”: didalam kehidupan tatapraja kehidupan berjamaah yang berjam’iyyah pada semua tingkatan dan posisi pada level dimanapun saling mengisi, saling memberi, saling menolong, saling mengingatkan bahkan kesukaan saya pepisahan didalam kedurhakaannya.
Sebab didalam percaturan pemikiran moden dewasa ini kita sering terlibat dalam berbagai hal pada semua elemen yang selalu diusahakan “ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan”, yang biasanya juga cenderung terkonsentrasi ke satu sudut yang “intelektual” belaka yang seakan-akan kita hanyalah se-onggok kumpulan dari segumpal gumpalan otak belaka yang berkumpul dan berembuk ditambah sejenis etos sikap yang mati hidup mempetahankan setiap argument tentang kebenaran ilmiah yang kita pegang. Etos sepeti ini tidak jarang membentuk dan membangun terbentuknya defensive buta, diongkosi harga diri yang membatu, dan membawa kita kepada ketertutupan  yang justru membendung alternative kebenaran baru yang mungkin kita peroleh dari kesiapan kita untuk tidak saja benar, tapi mungkin juga kurang tepat, bahkan mungkin salah dan yang sesungguhnya saling ketergantungan. Dengan pemahaman bahwa dunia ini sesungguhnya tidak lebih sebagai ujian dan proses menuju kepada Diri Dzatullah, harus di proses yang keberadaannya dapat menjadi batu penghalang untuk menyatu dengan Diri Dzatullah jika tida dinafikan
Yang terjadi kemudian adalah suatu ironi; di satu pihak kita ngotot harus kreatif, dinamis, inovatif, di lain sisi kita jumud dan tertutup. Di satu pihak kita meyakini relatifitas pengetahuan kita (sebagai isyarat adanya yang Maha Mutlak dan ke-tak-terbatasan pengetahuan ke-Ilahiahan), dilain pihak dalam waktu yang bersamaan atau jeda di lain waktu kita bersikap lemah, dengan bersikap mutlak-mutlakan menggenggam kebenaran diri.
Tidak jarang ada pengalaman bahwa kelangsungan komunikasi, musyawarah, dialog yang terlalu mengkotakkan diri pada garis batas ilmiah menjadi amat muluk tetapi kabur dan keruh serta tidak jelas arah dan sasaran finishingnya dan kebingungan sendiri saat keluar dari wilayah musayawarah tersebut, kemudian menjadi jernih dan tampak (ternyata) bersahaja dan sederhana saat kita “oper persneling” perwatakan dengan cara yang lebih personal-utuh, atau lazim disebut dengan dialog dari hati ke hati, pelibatan semua fungsi organ secara kaafah.
Didalam proses memahami ilmu-ilmu –wawasan, ataupun didalam pelaksanaan consensus-konsensus yang telah disepakai untuk kita aplikasikan pada praktek “laga” yang secara dialektik harus dilangsungkan sekaligus dengan proses memahami kenyataan, saya secara pribadi sering mengalami hambatan dan kesulitan akibat parsialisasi “ilmiah”. Sepertinya memberikan informasi bahwa intelektualisme dan spiritualisme merupakan dimensi kejiwaan yang berdiri sendiri-sendiri. Padahal menurut ajaran yang saya terima dan kemudia saya memahaminya dan akhirnya saya yakini bahwa intelektualitas merupakan wujud otak kemakhlukan yang sempit dan nisbi yang sesungguhnya merupakan lapisan paling permukaan belaka dari ketotalitasan kaafatul Islam yang daya dorong spiritnya sebagai spiritualitas ke ilahiahan yang tak terbatas, yang diujung-ujungnya (mestinya) memancarkan kebenaran Haq-haq Junjungan Nabi SAW dan kebenaran Mutlak al-Haq-Nya Diri Dzatullah.
Pemikiran mujahid dan mujtahid yang mengatasnamakan pemikiran pembaharu Islam sekalipun, kalau tidak salah persepsi juga sering (kalau tidak dikatakan selalu) terjebak oleh kecenderungan parsialitas mengkotak-kotak semacam ini. Rasanya belum pernah kita mendengar atau membaca suatu tulisan tokoh nasional ataupun tokoh agama yang menghadirkan diri ditengah percaturan pemikiran dengan penuh arif dan memancarkan tidak saja kepintaran, tetapi juga kematangan, kedewasaan, terbuka dan kuat, sarat dengan penyerahan totalitas pada Keberanan Ber-Tuhan, shabar dan tawadhu’, utuh dan bulat kemudian pada pertengahan dioalog atau di penghujung pembicaraan bertutur, “mendengar kata-kata Tuan, saya jadi diliputi rasa bingung, dan jauh dalam diriku di lubuk hati yang terdalam ada dua bisikan yang berlawanan, yang satu mempertahankan atas apa yang telah saya yakini dan yang kedua membenarkan apa yang telah Anda Tuan sampaikan sebagai hal informasi baru yang kebenaran tidak diragukan” –setidaknya memancarkan keinsafan akan kelemahan manusia dihadapan Tuhan, yang Ke-Mutlakan MengadaNya tidak sedetikpun pernah absen dari dalam diri manusia.


butanisasi jagat

Butanisasi jagat
Tulisan ini hanya sekedar renungan secuil diri, terhadap proses diri dalam mendidik dan melatih diri pribadi (yang memiliki harapan kebahagiaan dan ketentraman yang hakiki) dan penulis sebagai hamba yang lemah, penuh kekurangan tempatnya salah dan dosa, namun berharap pengampunan dari-Nya.
Jagat yang membuta atau buta yang menjagat dan mendunia.
Kalau ada orang yang tersandung kerikil, siapa yang tersalahkan atau apa yang disalahkan. Dasar “kerikil” tidak punya mata, atau dasar kerikil tidak punya kaki. Seenaknya aja nongkrong di tengah jalan. Sambil orang yang tersandung ini memegangi kakinya yang berdarah, sambil marah-marah sendiri tidak tahu harus menyalahkan siapa –karena suka nyalah-nyalahkan orang. Orang ini tetap berjalan dengan tekenpenyangga tubuh, sebagai mata yang menuntun jalan dengan harapan dapat sampai tujuan. Dengan PD-nya terus kedepan dan tau-tau ada ‘grobyak’ bergulingan bersama pengendara yang lewat, yang ternyata nabrak dirinya, teken gutiknya patah, untung dia tidak terluka, kecuali tambah parah luka yang akibat tersandung kerikil tadi. “hai…. kalau jalan liat-liat jalan dong…jalan ditengah!!”, kata pengendara. “Kamu yang melihat, kalau berkendera lihat orang dong..saya sudah gunakan mata, bahkan sudah saya letakkan di jalan, apa kamu tidak liat, dasar buta..” ini yang salah yang buta atau yang berkendara yang dapat malihat, tapi mungkin pada sisi lain juga sama butanya.
Inilah idiom keadaan orang saat ini. Yang buta tidak mau tahu atas kebutaannya dan yang bisa melihat dengan sombongnya memperlihatkan  arogansi kebutaan visual juga verbalnya. Yang pertama buta secara harfiah, realitas. Yang kedua buta makna, buta mata hatinya. Sama-sama meraba-raba, walau berbeda yang diraba. Sama-sama buta, namun tidak sama dalam menyikapi dan merespon situasi dan kondisi.
Yang buta dengan yakinnya menilai, mengkoreksi, mengkritisi, menendang, melempar dengan keyakinnya –yang hanya dasar mbok menowo, (semoga tidak buntung). “saudara-saudara kalau kalian mau tau rasanya nikmatnya buah duren, kalian harus hati-hati, jangan pernah duduk dibawah pohon duren yang sedang berbuah, bisa kejatuhan, bisa penjol, bahkan bocor -wassalam tuh kepala. Karena buahnya berduri, kulitnya keras. Kalau kebanyakan ndak baik untuk kesehatan, paling tidak tentu tidak baik untuk kantong. Sebagai katalisator orang ini bla…bla… berorasi panjang lebar perhal penjelasan duren, gizinya, vitaminnya, kegunaannya, mudharat dan manfaatnya. Ustadz!!! Ada audience bertanya, apa ustadz sudah merasakan buah Duren yang katanya nikmat itu” ustadz kita ini tampak merah padam mukanya, hatinya seperti diberi kado api yang menyala, sambil memandang orang yang bertanya. Dengan suara di berat-beratkan dan dengan sikap diwibawa-wibawakan sambil menjawab hai…apa kamu tidak percaya kalau saya ini ahli baca, semua buku perihal duren telah tamat saya baca, dari pandang sudut mana saja telah habis saya baca bertahun-tahun saya mengkarantina diri, bahkan telah saya amalkan, (yaitu) “saya tidak pernah duduk dibawah duren –pohonnya saja tidak tau, apalagi rasanya!!   apa kamu tidak percaya??.
Yang bertanya diam sejuta bahasa, “ditanya pernah menyatakan rasanya duren dan jawaban yang diperlukan hanya pernah atau belum aja pakai argumentasi jalan propinsi dan jalan kereta api –tanpa  alasan semua kendaraan harus berhenti, kereta mau lewat. Semua yang “berbau” di-akademik-akademikan: konsep-skrip, factor, elemen, di hambur-hamburkan sehingga tampak mubadzir atau bahkan sia-sia, walau semoga tidak manjadi merugi (???). Bagaimana saya akan praktek “ka-annaka tarrahu” kalau tidak/belum pernah merasakannya”. Tapi penanya ini diam tidak berani mengungkapkan bunyinya hati, yang gronjal-gronjal ingin keluar, tapi apa daya. Besoknya, kemudian bersama-sama dengan teman-temannya dia menggerakkan masa mendemo dan demontrasi menggugat, bawa gutik, tongkat, batu, bata pembuka jalan untuk dapat merasakan nikmatnya makanan duren yang gratis kalau perlu yang romantis-duren (rokok makan gratis duit renes), sebab katanya indonesia ini tongkat, kayu pun jadi tanaman. Yang digugat kebakaran jenggot, gimana nih… wong pohonnya saja kita belum tau..boro-boro rasanya kok diminta memenuhi “nikmat”nya. Bagaimana se-akan-akan akan dapat dipenuhi kalau dibalik bagaimananya juga meraba-raba….oh…jagat....jagat gung binatara.
Para wali telah mendahului kita dengan (yang saat ini kita sebut sebagai budaya) wayang, dengan menciptakan wayang buto, senang dan tidak senang tetap saja mulutnya “mangap” “dibanting oleh dalang sekalipun tetap mangap, mungkinkah ini sesungguhnya menggambarkan keserakahan nafsu dunia manusia, sehingga tidak terbuka hatinya –rasa hatinya, dari melihat kebenaran Dzat, Yang Al-Haq, Yang Ghaybullah, Wajib WujudNya, Allah NamaNya. Bukankah kehidupan ini sesungguhnya tempat media untuk kembali dengan selamat menemui Dia Yang Al-Ghayb tersebut (Al-Ghayb sangat berbeda dengan alGhuyub, Al-Ghayb Hanya Diri Dzat Tuhan, sedang al-Ghyuyub adalah sesuatu yang sama-sama tidak keliatan mata tapi bukan tuhan seperti, Malaikat, surga, neraka, jin, demit, syetan, gendruwu)
Kita melihat bersama dalam sejarah umat manusia, apalagi saat bersentuhan dengan dunia kekeuasaan penuh dengan intrik-intrik dan trik-trik, strategi “mbuta”. Dengan kata lain di stigmakan, dipolitisasi, mempolitisasi diri
“innaha laa takmal absharu walakin takma quluubullati fishshuduri” sesungguhnya (untuk mengenali, mensaksikan Keberadaan Diri Dzatullah) bukan mata yang buta, tapi yang buta (dari al-HaqNya) adalah hati yang berada didalam dada”

Oh.....jagat...jagat yang membutakan jagat manusia.

arogansi orang-orang bepengetahuan

runtuh....runtuh moral, mental, spiritual
Dunia ini tampaknya akan runtuh kali yaa, sepertinya tidak ada lagi kedamaian dan ketentraman kecuali saling jegal, saling olok, saling menyalahkan, saling merasa paling benar, saling rebut tulang belulang, tanpa isi. manusianya sudah tidak lagi mengindahkan, bahwa sesungghnya kehidupan bersosial adalah saling kebergantungan antara satu dengan yang lainnya. saling membantai. kompetisi hidup mati, berebut sesuap nasi, berebut sejengkal tanah terjadi saling menumpas. dan memposisisikan paling benar, paling tahu, paling memahami...semakin tinggi pendidikan, tidak semakin menunduk, seperti petuah orang-orang tua dulu, "padi semakin berisi semakin menunduk". yang terjadi justru semakin arogan, semakin mendongak keatas. saya ada cerita dari orang tua santri dari sumatra utara, dia bertutur, "saya punya anak, dulu saat belum sarjana dia itu rajin membantu orang tua, mau berkebun, bercocok tanam, bertani disawah, namun saat dia telah menempuh kesarjanaan, sekarang sama sekali dia tidak pernah mau membantu, padahal dia itu juga sarjana pertanian disalah satu perguruan tinggi, katanya dia menunggu untuk diangkat menjadi pegawai".  
 Maka pernahkah kamu memperhatikan orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya (hanya orientasi angka-angka dunia, kebutuhan ragawi), dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (Q.S. Al-Jaatsiyah, 23)
Tumpukan uang tidak akan melahirkan kebahagiaan, barang-barang mewah tidak memancarkan keindahan. Upacara-upacara keagamaan yang spektakuler tidak menumbuhkan kesucian. Seperangkat peraturan tidak mendatangkan keadilan. Dan sejuta demonstrasi dan keluhan tidak akan menyentuh kemanusiaan dan keharuan.

Kebahagiaan, ketentraman, keindahan, kesucian, keadilan hanya dapat diwujudkan dengan mengingati Keberadaan Diri Dzatullah, Yang Al-Ghayb,Yang Wajib WujudNya, Mutlak KeberadaanNya
Manusia tidak akan dapat menyelamatkan dunia hanya dengan sebuah sistem. Tidak ada satupun sistem. teori, ideologi atau apapun namanya dapat menyelamatkan dunia dari krisis, apalagi masalah moralitas, Manusia perlu mengenali kemanusiaanya, mengenali hakekat diri sebagai manusia, mangenali fitrahnya dan kembali kepada hakekat fitrah manusianya yang asal fitrah dari FitrahNya. umat manusia memerlukan kehadiran yang memliki peran sekualitas "SEORANG NABI" walau bukan berarti seorang Nabi karena Nabi sudah ditutup sejak Nabi Muhammad SAW, namun peran dan fungsinya yang secara jelas dan kongret mengembalikan hak-hak junjungan Kanjeng Nabi Muhammad SAW, yang jelas kapasitasnya sebagai pembimbing umat yang secara tugas dan fungsi seperti halnya peran Nabi Muhammad SAW sebagai Rasulullah, yang menunjukkan perihal inti; hal yang mendasar dan esensi perihal memanusiakan manusia jika ingin menyelamatkan masyarakat dari krisis apalagi masalah spiritual dan moral lebih-lebih masalah keselamatan dunia dan akherat yang berbasis pada ke-tauhidan.
Dunia memerlukan orang-orang yang terbimbing, orang-orang yang bertaqwa yang bersiap diri menerima bimbingan dengan jiwa al-faqirnya, jika ingin terbebas dari krisis dari pada seribu manusia nalar. Sehingga dengan kesiapan diri atas petunjuk dan bimbingan dari seorang yang secara peran mengembalikan hak-hak junjungan kanjeng Nabi Muhammad SAW ini terefleksikan kedalam karaketer ilaahiyah yang tercermin dalam bersosialnya, bermasyarakatnya, berbangsanya dan bernegaranya. Belajar berkarya ditumbuhkan dan dipupuk terus menerus demi li’ila kalimatillah.
sebagai bahan perenungan dan diskusi, namun tidak untuk didebat kusir. tulisan ini karena rasa jenuh melihat berbagai pemberitaan konflik semua mass media, koran, televisi, dsb.