Penghalang
yang sering tidak sadari
SAYA SERING MENEMUKAN DIRI SAYA SENDIRI DALAM KEADAAN TERLENA, SAYA SERING MENTERTAWAKAN DIRI SAYA SENDIRI, BETAPA SERINGNYA SAYA (TIBA-TIBA) ADA BISIKAN HATI, "INI ORANG KOLOT AMAT, DAN SOK" TERKADANG SAYA MARAH DAN KECEWA, SETELAH SAYA SELAMI EHH... TERNYATA, SAYA SAMA SAJA, TIBA-TIBA SAYA TIDAK SENANG KEPADA ORANG LAIN HANYA KARENA MENILAI SISI LAHIRNYA. YAA ALLAH AMPUNI SAYA.
Di
dalam Al-Qur’an, 91. Asy syams, 8 Allah telah menyebutkan pilihan bagi kita
sebagai manusia penduduk bumi. Allah memberikan pilihan terserah masing-masing
“diri” dari kita akan menjadi taqwa atau fasiq.
Kita akan menjadi yang bertaqwa atau kita akan menjadi orang yang fasiq adalah tergantung dari pilihan kita sendiri. Jika kita memilih jalan untuk menjadi orang yang bertaqwa, jiwa kita mesti bersih dari kotoran-kotorannya, barang siapa yang mensucikan dirinya maka itu untuk dirinya sendiri. Allah berfirman, “beruntunglah” orang-orang yang membersihkan jiwa dan merugilah orang-orang yang mengotorinya”.
Kalimat
beruntung, adalah diluar kuasa kita, ada si pembuat sehingga menjadi
berkatagori untung. Sedang didalam ayat al-Qur’an disebutkan sebaga “aflaha”
dari kata “falahun” sedang miflahun adalah petani, dikatakan falahun sebab
melakukan pengolahan tanah dan membajaknya, supaya dapat ditanami dan tanahnya
supaya lunak. Dan merugilah orang-orang yang mengotorinya, khobun adalah kaku,
keras tidak bisa diolah, tanah yang tidak pernah tersentuh oleh air, sehingga
menjadikan tanaman yang ditanam di tanah yang seperti ini akan mati.
Kemudian
kita akan memilih yang mana??? Adalah tergantung dari pilihan kita sendiri,
memilih untuk memiliki kebahagian, kedamaian dan ketentraman atau memilih
kerusakan, kecarutmarutan, amboradul. Kita akan memilih menjadi orang-orang
yang rendah hati, sopan, santun, lapang dada, hati terbuka dan nyegoro, berani
menerima kekurangan diri dan berani mengakui kelebihan orang lain atau menjadi
pribadi yang keras kepala, sombong, arogan, semaunya sendiri, memilih kesenangan-kesenangan
dunia dan dengan segala materialnya.
Betapa
kemasan-kemasan kesombongan dan arogansi telah dikemas sedemikian lihainya dan
begitu cantiknya, sehingga untuk mengetahuinya apakah kita terjerumus oleh
lingkaran nafsu dan syetan membutuhkan perenungan dan kedalaman berfikir untuk
keselamatan diri kita sendiri.
Memang
selamat dan tidak selamat itu adalah hak setiap individu masing-masing, artinya
bahwa meninggal dunia itu yang merasakan adalah diri masing-masing. Dan
sesungguhnya kebahagian dan ketentraman itu juga bersifat individu demikian
juga arogan dendam, hati panas pikiran keras kepala itu adalah sifat perilaku
masing-masing diri. Namun memiliki pengaruh dan berpengaruh sehingga
mempengaruhi orang lain, lingkungan dan masyarakatnya. Yang dapat dibagi-bagi
itu adalah kesenangan.
Dimana
antara bahagia dan senang juga sering terjadi jumbuh dan rancu. Jika ada anak
kecil yang meminta es krim, dan kita belikan es krim maka dia senang,
(kebahagiannya) adalah saat senang tersebut. Jika kesenangan yang seperti ini
dianggap bahagia, maka batas waktunya adalah seumur es krim tersebut. Padahal
kebahagian itu bersifat batini, bersifat kedalam, bersifat mikrokismis,
individu.
Kebahagian
letaknya didalam hati sedang kesenangan bersifat lahiri. Jika kebahagian
diletakkan pada hal yang besifat lahiriyah, diukur dari yang tampak dan lahir
semata, maka tidak akan pernah dapat dipenuhi, sebab karakter watak manusia
selalu kurang, tidak akan pernah terpuaskan.
Saya
kembali ke paragraf ke lima, sesungguhnya penghalang seseorang untuk mencapai
kebenaran kebahagian dan hakekat-hakekatnya, kita ini mesti merogoh, menyelami
yang didalami. Yang disebut manusia itu apa?? Bagaimana kita memahaminya,
apakah manusia didefinisikan sebagai seonggok tubuh, organ, dan otak-pikiran,
hayawanu natiq, hewan yang berpikir. Atau kita akan memahami kedalamannya,
bahwa manusia itu intinya adalah apa yang berada didalam hatinya. sebab,
definisi manusia yang kita anut dan kita fahami kemudian dijadikan sebagai
pegangan ITU AKAN SANGAT MENENTUKAN perilaku serta karakter yang akan kita buat
dan sikap yang akan kita ambil, yang akan berpengaruh langsung terhadap
perilaku sosial-kemasyarakatan. Memanusiakan manusia atau menghewankan manusia
tergantung diri kita sendiri-sendiri.
Dibutuhkan tidak hanya kepandaian untuk bisa memahami hal-hal tersebut, tetapi juga kerendahan hati, lapang dada, “nyegoro” pikiran jernih, dan jauh dari watak arogansi dan kesombongan. Ketaqwaan berada didalam pengendalian diri.
Arogansi dan kesombongan sering dibungkus oleh hal-hal yang
bersifat material; pakaian, sorban, sajadah, gedung megah nan mewah,
tempat-tempat ibadah. Arogansi dan kesombongan juga sering dibungkus oleh
perilaku dan perkataan bahkan dengan perilaku ibadah ritual, kesombongan juga
sering dibungkus oleh intelektual, kepandaian.
Kerendahan, keagungan, kemulian, kesucian tidaklah diukur oleh
hal-hal diatas, kita boleh berjas rapi, namun tidak meninggalkan kerendahan dan
ketulusan hati, kita boleh berjubah dan bersorban namun tidak menghalangi untuk
menerima masukan, usulan, dan pengakuan kelebihan oarang lain serta kesadaran
hamba dan kepedulian. Kita boleh banyak memiliki ilmu dan bergelar setinggi
langit, namun tidak menutup diri belajar dari siapapun, walau gelandangan tanpa
pendidikan sekalipun. Semua itu dilakukan hanya untuk memudahkan identifikasi
dan mudah untuk dikenali.
Sama sekali tidak merasa diri lebih tinggi jika ada orang yang
hanya berpakaian ala kadarnya, tidak merasa lebih mulia saat ada orang yang
berpakaian lusuh, berani menerima bahkan kritik (walau nyatanya kritik adalah
berat untuk diterima siapa saja) walau saat berjas, berani belajar dengan
kerendahan hati dan pikiran terbuka walau telah dikenal sebagai ilmuan dan
intelektual.
Bahkan arogansi dan kesombongan sering tampak dari
perilaku-perilaku, keturunan keluarga, kelompok, golongan, politiknya,
keyakinan dan agamanya. Bangga terhadap kelompoknya, bangga terhadap
keluarganya dan nenek moyangnya, bangga terhadap keyakinannya, bangga terhadap
agamanya......boleh...silahkan!!!, namun tidak selayaknya dan tidak pada
tempatnya jika, kebanggaan-kebanggaan itu dijadikan sebagai perilaku, watak dan
karakter menjadi ego, arogansi dan sombong. Sehingga saling mengkritik, saling
mengolok, saling menjegal dan masih banyak lagi jenis-jenisnya.
Tulisan ini dibuat, dimaksudkan untuk pembelajaran kami sendiri
yang menyadari sebagai manusia tempatnya salah dan dosa.
Da’a
tanjung